twitter
rss



Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.
“Dimana keadilan Allah?”, ujarnya. “telah lama aku memohon dan meminta padaNya stua hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan kepadaNya. Ku jauhi segala laranganNya. Ku tegakkan yang wajib. Ku tekuni yang sunnah. Kutebarkan shodaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud dikala dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak RasululNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku sama sekali.”

Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.

“Padahal,” sambil kini berkaca- kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya tlah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Dimana keadilan Allah?”

Rasanya saya punya banyak kata- kata untuk menghakiminya, “kamu sombong, kamu berbangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain/ kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana Iblis tlah terlena. Jangan heran kalau doamu ytak terijabah. Kesombonganmu telah menghapus semua kebaikan. Nilai dirimu hanya anai- anai berterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya disisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya.”

Saya bisa mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.
Tapi saya sadar. I8ni ujian dalam dekapan ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sejaligus terluka. Saya khawatir luka akan bertahan lebih lama daripada kesadarannya.

Maka saya katakan padanya, “Pernahkah engkau didatangi pengamen?”
“Maksudmu?”
“Ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum, “Pernah?”
“Iya, pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat- lekat.

“bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiaannya lebih mirip teriakkan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau parau, sumbang dan cempreng. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sma sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”

“Segera ku beri uang” jawabnya “agar segera berhenti menyenyi dan segera pergi.”
“lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapilagi wangi, apa yang kau lakukan?”

“kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu, “lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”

Say tertawa.
Dia tertawa.

“kau mengerti kan?”tanya saya. “bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: ‘cepat beriakn apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya.”

“tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata, “bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat beribaah, yang rajin shadaqahnya, yang menyempyrnakan wajib dan menegakkan sunnah, maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatNya: “tunggu, tunda dulu apa yang mereka hajatkan. Sungguh aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus berdoa, terus mengiba. Aku menyukai doa- doanya. Aku menyukai kata- katanya dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang silantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah mendapat apa yang dai pinta. Aku mencintainya.”

“oh ya?”

Matanya berbinar “betul demikiankah yang terjadi padaku?”

“hhmm.. pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung dengan menepuk pundaknya. “Aku hanya ingin kau berbaik sangka”
Dia tersenum. Alhamdulillahh.


|Buku dalam dekapan ukhuwah

0 komentar:

Posting Komentar