twitter
rss


Bukan BERAT beban yang membuat kita stress,
tetapi LAMA-nya kita memikul beban tersebut.
-Stephen Covey)

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress,
Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya
kepada para siswanya: "Menurut anda, kira-kira
seberapa beratnya segelas air ini?"

Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr.
"Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi
tergantung berapa lama anda memegangnya." kata Covey.

"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada
masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan
kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya
selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan
ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi
semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan
semakin berat."

"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat
laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu
akan meningkat beratnya." lanjut Covey.
"Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas
tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya
lagi". Kita harus meninggalkan beban kita secara
periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu
membawanya lagi.

Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini,
tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban
itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada
dipundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika
bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi.

Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan
memanfaatkannya ...! Hal terindah dan terbaik di
dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi
dapat dirasakan jauh di relung hati kita.


"Start the day with smile and have a good day!"
|Full text..^^ …

Jika kamu memperlakukannya dengan baik,
dia pikir kamu jatuh cinta padanya..
Jika tidak, kamu akan dibilang sombong.

Jika kamu berpakaian bagus, dia pikir kamu
sedang mencoba untuk menggodanya..
Jika tidak, dia bilang kamu kampungan.

Jika kamu berdebat dengannya, dia bilang kamu
keras kepala..
Jika kamu tetap diam, dia bilang kamu nggak
punya otak.

Jika kamu lebih pintar daripada dia, dia akan
kehilangan muka..
Jika dia yang lebih pintar, dia bilang dia paling
hebat.

Jika kamu tidak cinta padanya, dia akan mencoba
mendapatkanmu..
Jika kamu mencintainya, dia akan mencoba untuk
meninggalkanmu.

Jika kamu beritahu dia masalahmu,dia bilang kamu
menyusahkan..
Jika tidak, dia bilang kamu tidak mempercayai
mereka.

Jika kamu cerewet pada dia, kamu dibilang seperti
seorang pengasuh baginya..
Tapi jika dia yang cerewet ke kamu, itu karena dia
perhatian.

Jika kamu langgar janji kamu, kamu tidak bisa
dipercaya..!! GosH..!!
Jika dia yang ingkari janjinya, dia melakukannya
karena terpaksa.

Jika kamu merokok, kamu adalah cewek liar !
Tapi kalo dia yang merokok , dia adalah seorang
gentleman, wuiihh..!

Jika kamu menyakitinya, kamu dibilang perempuan
kejam..
Tapi jika dia yang menyakitimu, itu hanya karena
kamu terlalu sensitif dan terlalu sulit untuk
dibuat bahagia !!!!!

Jika kamu mengirimkan ini pada cowok-cowok,
mereka pasti bersumpah kalau ini tidak benar.
Tapi jika kamu tidak mengirimkan ini pada mereka,
kamu akan kehilangan kesempatan untuk
mengatakan mereka egois... huhehe =P
|Full text..^^ …

Mendefinisikan cinta memang bukan perkara mudah. Mungkin, makna cinta hanya dapat dipahami oleh mereka yang merasakannya. Seperti yang diungkapkan Sayyid Quthub ketika menggambarkan nikmatnya hidup di bawah naungan Al Quran," Laa ya'rifuha illa man dzaqaha"(Tak kan mengerti mereka, kecuali yang merasakannya). Berbicara mengenai cinta, tentu saja saya tidak memiliki pengalaman sehebat mereka yang telah menikah,misalnya. Tapi karena sebaran cinta begitu luas makaberbagi wawasan (jika bukan pengalaman) tentu bermanfaat pula.

Beberapa pakar psikologi humanistik menggambarkan bahwa ada perbedaan mendasar antara cinta dengan fenomena jatuh cinta. Fenomena jatuh cinta adalahf enomena khas yang menyertai ketika kita tertarik kepada 'seseorang'. Jatuh cinta bersifat sporadis, semerta-merta, tiba-tiba, seperti kata itu sendiri ia jatuh begitu saja. Jatuh cinta tidak bisa dibuat-buat, ia bisa menimpa setiap orang dan bisa dirasakan setiap orang. Jatuh cinta ditandai perasaan yang meluap-luap terhadap 'seseorang', rasa ingin bersama selalu, rasa ingin melihat terus dsb. Usia jatuhnya tidak selalu lama. Hanya sesaat. Tentu saja tidak hanya satu jam tapi mungkin bertahan berhari-hari. Tetapi ia adaakhir yang jelas.

Banyak orang yang telah beristri,tiba-tiba mengalami perubahan yang sungguh aneh,"tiba-tiba saja ia jadi membenci anaknya, bahkan menyiksa putra kecilnya itu, tiba-tiba saja ia begitu sinis kepada istrinya bahkan marah sedemikian besar tanpa alasan yang dijelaskan." Mengapa ?, ternyata ia tengah jatuh cinta kepada seseorang. Dalam dirinya tidak ada ruang bagi orang lain, kecuali untuk dia dan'seseorang' yang jatuh ke dalam hatinya. Dengan demikian hati dan sikap sedemikian teguh, mengeras, dan membaja, " tidak ada kata lain aku harus selalu bersamanya, memilikinya!".

Jatuh cinta bisa menimpa siapa saja, dalam usia berapa saja (tentu setelah baligh), dalam status apa saja.

Lalu bagaimana dengan cinta ? Cinta adalah kerja kesadaran. Ia adalah pilihan. Ia adalah kata kerja, bukan kata benda. Cinta berarti ada satu objek yang telah ia pilih dan ia dengan sadar, pilihan bebasnya, mencintai objek itu. Cinta dengan demikian adalah seni mencintai. Cinta tidak pernah jatuh, ia diusahakan.

Jatuh cinta selalu ingin memiliki, cinta memberi ruang untuk menjadi. Jatuh cinta mudah pudar, cinta selalu membara karena ia dapat diperbarui. Jatuh cinta menjadikan 'seseorang' ibarat boneka yang harus berputar di tangan kita; cinta melihat seseorang dalam cahaya kemanusiaannya. Jatuh cinta membendakan seseorang, cinta memanusiakan seseorang. Cinta adalah juga seni memperhatikan.Seni memperhatikan seseorangu ntuk berkembang menjadi diri otentiknya. Cinta tidak memanipulasi seseorang.
Begitulah cinta dalam orientasi manusiawinya.

Dalam timbangan islam, cinta adalah bagian dari ibadah. Ibadah sendiri merupakan puncak dan kesempurnaan ketundukan dan puncak/kesempurnaan cinta.Ibadah adalah totalitas ketundukan dan kecintaan.Cinta tentu saja terdistribusi dalam kehidupan kita,puncaknya adalah pada Sang Maha Esa, sebarannya adadalam relasi manusiawi dan relasi fisik kita.(lihat AtTaubah 9:24). Tapi sungguh cinta itu tidak ditunggu hingga ia jatuh ke dalam diri kita, ia harus diusahakan dengan penuh kesadaran. Wallahu a'lam.

From: fai _rez
Date: Sun Mar 27, 2005 8:56 am
Subject: Cinta.....
|Full text..^^ …

Sosoknya amat sederhana. Tinggi rata-rata, berat rata-rata, penampilan rata-rata, kulit sawo matang layaknya orang Jawa, bahkan lebih hitam karena setiap hari terpanggang matahari, di atas lautan lagi. Prestasi rata-rata, aktifitasnya pun biasa saja. Jelas bukan selebritis, bahkan di tingkat RT sekalipun. Dia hanyalah seorang hamba Allah sederhana, yang mencoba menjalani hidup untuk berbakti kepada TuhanNya dengan jalan amat sederhana: beribadah makhdhah dengan baik, bekerja dengan baik, berbakti kepada ibu bapak serta menjalin silaturahmi dengan baik kepada saudara seiman, saudara sedarah, dan sesama manusia.

Dia, pemuda kampung dari wilayah Karesidenan Surakarta yang telah berjuang merenda hidup di Jakarta empat tahun ini. Sama seperti saya, gadis kampung dari selatan kota Solo yang tengah mencoba memaknai hidup di ibukota sepuluh tahun terakhir. Dia pernah menjadi murid sebuah SMU negeri di Solo, sebagaimana saya pun pernah menimba ilmu di salah satu SMU negeri yang lain di Solo juga. Dia adalah sepupu dari teman kuliah dan teman kos saya beberapa tahun lalu, namun saya dan dia tak pernah saling bertemu sebelumnya.
Memandanginya, sungguh hanya satu rasa yang terungkap di hati saya: Betapa Allah Maha Besar dan Maha Berkehendak. Memandanginya, tak lain dan tak bukan hanya menumbuhkan pengakuan dan ketertundukan saya atas Kuasa Kehendak Allah yang berpadu dengan Kemenangan Doa. Bagaimana tidak? Dua setengah bulan yang lalu, saya masih -sama sekali- tidak mengenalnya. Bukan hanya sekedar tidak mengenal, bahkan terbayang pun tidak. Terlintas di benak pun tidak tentang orang seperti dia. Karena saya dan dia hidup dalam dunia yang teramat berbeda. Amat sangat berbeda malah. Tak satu pun hal yang saling beririsan di antara kami berdua: baik pekerjaan, pendidikan, maupun aktitifitas sosial & organisasi.

Maka sungguh kehadirannya yang begitu tiba-tiba dan dari arah tak disangka-sangka sempat membuat saya limbung dan tak mengerti. Saya nyaris tak siap menerima kejutan seperti ini. Saya ingin menutup mata dan telinga saja atas kehadirannya. Saya bahkan sempat menolaknya. Bahwa proses kemudian akhirnya tersambung kembali dan berakhir dengan status suami istri bagi kami berdua, itu semua adalah semata karena Kebesaran Allah SWT.

Memandanginya, selalu mengingatkan saya atas dialog dengan ibu, wanita luar biasa yang selalu saya kagumi, lebih dari dua tahun lalu. Dialog yang saya rekam dalam sebuah catatan berjudul “Menjadi Ibu“ dan kemudian terpublikasi dalam buku pertama saya, Pagi Ini Aku Cantik Sekali terbitan PT Syaamil Cipta Media, 2003. Dalam buku tersebut masih tertera nyata paragraf-paragraf itu:
[Suatu hari, ibu saya berkata, ”Nduk, ibu selalu berdo’a dan meminta pada Allah tiap habis sholat, semoga kamu mendapat jodoh yang sholeh dan sepadan denganmu. Dan ibu juga minta, semoga jodohmu orang dekat sini saja, agar kalau ibu pengin menengok kalian, ibu tak harus jauh-jauh ke Jakarta. Agar ibu cukup dibonceng bapak, karena ibu pasti mabok kalau naik bis atau mobil”.
“Ah, ibu yang realistis dong. Saya kan sudah tujuh tahun tinggal di Jakarta. Darimana jalannya saya mendapat jodoh orang sini?” jawab saya.
Ibu saya menjawab kalem, ”Lho, jodoh itu khan urusan Alloh. Kita hamba-Nya boleh minta apa saja. Kalau Alloh menghendaki, ora kurang jalaran (tidak kurang sebab)”.]
Maka kini, memandangi laki-laki yang memiliki predikat baru sebagai suami saya itu, hanya menumbuhkan takjub yang tak henti melantun mengiringi tasbih. Takjub atas begitu mudah dan tak terduga Allah menjadikan semuanya. Takjub atas pengabulan doa ibu yang begitu tiba-tiba setelah sekian tahun berlalu. Takjub atas jalan yang ditempuh ibu saya untuk mendapatkan einginan hatinya: Doa yang tiada henti kepada Sang Pencipta, tanpa bosan, bertahun-tahun lamanya.

Beberapa waktu lalu, sesaat sebelum saya resmi menjadi istri laki-laki ini, Ibu bercerita kepada saya, bahwa sesungguhnya selama ini selalu ada rasa berat di hati Ibu saat saya mengajukan calon orang jauh, apalagi dari pulau seberang. Tapi Ibu tak pernah mengungkapkan ketidakrelaannya pada saya. Ibu memilih menyampaikan langsung keinginannya pada Dia Sang Maha Pencipta melalui doa yang tak pernah putus.
Pengakuan itu membuat saya terpana. Tak dapat berkata apa-apa. Karena, sungguh, ibu saya memang bukanlah tipe orang tua dengan banyak standar dan kriteria untuk calon menantunya. Ibu adalah sosok sederhana yang menerima setiap manusia lain dengan sederhana. Tak pernah Ibu meminta saya syarat macam-macam apalagi memaksakan kehendak dengan pemberian kriteria tentang calon menantu harus begini atau begitu. Tak pernah ibu menolak calon-calon yang saya ajukan. Bahkan selama ini, Ibu yang selalu mendorong saya untuk menerima setiap lamaran.

Tujuh tahun berlalu sejak saya berusia 23 tahun dan selama itu pula telah datang berbagai sosok silih berganti. Dari segi suku, ibu tak pernah mempermasalahkan ketika yang datang bersuku Padang, Sulawesi, Betawi, Sunda ataupun Jawa sendiri dengan berbagai kota di pelosoknya. Dari sisi pekerjaan, ibu juga tidak pernah mempermasalahkan meski ia hanya seorang satpam, pekerja bangunan atau guru TPA saja, sedang di waktu yang lain pernah datang seorang eksekutif muda, dosen maupun wira usahawan. Dari sisi pendidikan ibu juga tak keberatan meski calon yang saya ajukan hanya lulusan SMA padahal pernah datang kandidat doktor dan sarjana dari perguruan tinggi paling bergengsi di negeri ini. Sedang masalah rizki, ibu hanya selalu berkata: Allah yang akan mengaturnya. Masalah tempat hidup, ibu bilang, semua tempat di dunia ini adalah bumi Allah saja. Hanya satu yang ibu gariskan: ia hendaklah pemuda shaleh dan bertanggungjawab. Tak lebih.

Hanya saja, selama tujuh tahun itu, saya harus berulangkali tertunduk ketika realitas berkata lain: cinta dan kerinduan saya tak jua menemui muaranya. Berulang kali, proses menuju nikah yang saya jalani berakhir di tengah jalan dengan sebab yang kadang tak saya mengerti. Berulang kali, perjalanan cinta saya harus berakhir dengan senyum getir, bahkan beberapa di antaranya menyisakan luka, hati yang berkeping, menyerpih dan berdarah-darah. Berulangkali, sepanjang tujuh tahun itu saya merunduk dan menghiba: Allah, di manakah ia teman mengarungi hidup itu?
Dan dia, laki-laki sederhana itu datang, saat perasaan tak lagi dapat dijadikan panduan. Saat realitas tak lagi dalam jangkauan pikiran. Dia datang di puncak kegalauan saya. Dia datang dibatas ketidakmengertian saya atas garis kehidupan. Dia datang, saat komitmen yang telah empat bulan saya bangun dengan sosok sederhana lain, lagi-lagi membentur sebuah kenyataan: ketidakyakinan, ketidaknyamanan dan ketidakridhoan dari banyak pihak jika proses kami diteruskan. Maka apakah lagi yang dapat saya lakukan selain luruh di hadapanNya? Menghela sebuah kepasrahan, menyerahkan semua takdir pada Dia Sang Maha Pencipta.

Maka terpilihlah oleh nurani, laki-laki ini. Dia yang datang sepenuh keyakinan. Dia yang datang membawa perbekalan sederhana: kesiapan pribadi dan restu orangtuanya. Dia yang datang bagai pangeran berkuda hitam: tegak, kokoh, teguh menatap ke depan tanpa gamang.
“Engkau sudah istikharah?” begitu tanya saya waktu itu.
“Sudah” jawabnya mantap. “Keputusanmu untuk memilihku final?”
“Final!”
“Yakin?”
“Yakin sekali”
“Mengapa memilihku?”
“Satu, karena engkau kupercaya merupakan muslimah berakhlak baik dari karesidenan Surakarta. Kedua, karena engkau insyaAllah tepat untukku. Engkau adalah perempuan tangguh yang kupercaya sanggup hidup bersama seseorang yang bekerja di atas lautan sepertiku. Aku percaya engkau akan dapat menjaga kehormatan suami saat ditinggal pergi dengan menjaga kehormatan diri dan harta suaminya.”

Kata-katanya membuatku tertegun-tegun. Allah, ini untuk pertama kalinya Engkau mempertemukanku dengan sesosok laki-laki yang memilihku bukan karena alasan ‘menginginkanku’, ‘keunggulanku’, ‘sebentuk emosi jiwa yang telah bersemi’, pun juga bukan karena ‘terserah kepada guru semata’ atau ‘tidak ada pilihan lain’. Ia datang dengan alasan mencari pasangan yang tepat, namun dengan kriteria amat sangat sederhana. Seperti yang dikatakan Anis Matta dalam bukunya “Sebelum Engkau Mengambil Keputusan Besar Itu”, bahwa seseorang semestinya mencari pasangan yang tepat untuk dirinya, bukan seseorang yang semata dikaguminya atau sosok unggul yang diinginkannya, yang disukainya, namun juga bukan sekedar mencari pasangan seadanya.
Maka ya Allah, ketika dia hadir begitu tiba-tiba, apalagi yang dapat kulakukan selain tunduk di hadapanMu? Selain pengakuan atas kebesaranMu dan ke-Maha kehendakanMu? Maka apalagi yang dapat kuungkap selain tasbih dan tahmid, serta takbir dan tahlil atas pengabulanMu pada doa panjang yang selalu dipanjatkan ibu saya bertahun-tahun lamanya?

Inilah laki-laki itu. Belahan jiwaku. Maka ya Allah, bantu saya menjaga amanahMu. Beri pertolongan padaku untuk menetapi mitsaqon ghalidza dan qaulan syadiidan yang telah kuikrarkan kepadanya, sosok yang hadir sebagai bukti perpaduan antara kehendakMu dan kemenangan doa Ibu. Bimbing saya untuk berbakti pada laki-laki yang membebankan amanah kepercayaan besar di pundakku, dan kini kupanggil: Suamiku! Kamal Fikri namanya.
#Azimah Rahayu, ditulis sebagai prasasti, atas periode hidup baru,
Solo 4 Desember 2005#
|Full text..^^ …

Betapa aku rindu mencintai-Mu teramat sangat seperti dahulu..
Hingga setiap saat sungguh aku terburu-buru ingin bertemu..
Bersujud mengecup bumi-Mu dengan syahdu,
membisikkan mesra cintaku pada sajadah-Mu..


Seperti anak kecil yang tersesat di tengah sirkus
Aku berputar-putar tanpa arah, tersilaukan dunia
Tak perlu Kau beritahu, aku sadar telah tersesat terlalu jauh
Tak mau tahu kau masih menungguku kembali ke arah-Mu


Setetes demi setetes air langit mulai berjatuhan
Kau kah yang tengah menangis itu?
Seperti kekasih yang kecewa telah terlupakan,
satu per satu kau coba ingatkan aku tentang-Mu


Sungguh,
Aku sangat malu jadi hamba-Mu yang sering lupa
padahal ku tahu Kau selalu menungguku menyapamu seperti dulu..

-Juli 2010- Adzimattinur Siregar
|Full text..^^ …

Kasih yang tak berhenti
Kasih murni abadi
Ku rasakan dalam denyut jantungmu
Ku dengar dalam doamu
Tuhan penyayang
Turunkan berkahMu
Untuk ibuku seorang

Ketika aku bangun pagi hari
Diberinya aku matahari
Agar aku dapat menikmati
Segala yang indah berseri


Tasya
|Full text..^^ …

Rinai hujan basahi aku
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu

Segalanya seperti mimpi
Ku jalani hidup sendiri
Andai waktu berganti
Aku tetap takan berubah

Aku slalu bahagia
Saat hujan turun
Karna aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri

Selalu ada cerita
Tersimpan di hatiku
Tentang kau dan hujan
Tentang cinta kita
Yang mengalir seperti air

Aku bisa tersenyum
Sepanjang hari
Karna hujan pernah
Menahanmu disini
Untukku…

Utopia -Hujan
|Full text..^^ …

lihat apa yang terjadi
dengan semua rencanaku
hancur semua berantakan

dia berjalan keluar dari lingkaran hidupku
bebas kulepaskan dia
akupun mulai berdendang

pasti ku bisa melanjutkannya
pasti ku bisa menerima dan melanjutkannya

ooh pasti ku bisa menyembuhkannya
cepat bangkit dan berfikir
semua tak berakhir disini

merasakan pandanganmu
penuh cerita dan luka
memang begitulah semua

jangan pernah kau menunggu
keajaiban dunia
bukalah satu tujuan

pasti kau bisa melanjutkannya
pasti kau bisa menerima dan melanjutkannya
ooh pasti kau bisa menyembuhkannya
cepat bangkit dan berfikir
semua tak berakhir disini

pasti ku bisa melanjutkannya
pasti ku bisa menerima dan melanjutkannya
ooh pasti ku bisa menyembuhkannya
cepat bangkit dan berfikir
semua tak berakhir disini


SO7 (Pasti ku bisa)
|Full text..^^ …